Kasus sengketa transfer pricing kembali menyoroti kompleksitas penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU), khususnya terkait mekanisme koreksi sekunder (secondary adjustment) dalam bentuk dividen terselubung (constructive dividend) yang diatur dalam Pasal 22 ayat (8) PMK Nomor 22/PMK.03/2020. Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-006748.13/2023/PP/M.XA Tahun 2025 menjadi penentu penting karena menolak koreksi Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 atas selisih transaksi afiliasi yang tidak wajar, memberikan preseden kuat tentang batasan yuridis pengenaan pajak atas dividen terselubung kepada entitas yang bukan pemegang saham.
Pengadilan Pajak menyidangkan banding yang diajukan oleh PT JSGI atas koreksi DPP PPh Pasal 26 sebesar lebih dari Rp. 248 miliar. Koreksi ini bersumber dari koreksi primary adjustment (koreksi HPP) yang dilakukan DJP atas transaksi pembelian bahan baku dengan afiliasi di Jepang, JSTC, yang kemudian direklasifikasi sebagai dividen terselubung.
Inti konflik dalam sengketa ini berpusat pada dua hal. Di satu sisi, pihak DJP berpendapat bahwa setiap selisih transaksi afiliasi yang tidak wajar, sesuai PMK Transfer Pricing domestik, harus diperlakukan sebagai pembagian laba yang terutang PPh Pasal 26 karena melibatkan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Pandangan ini didorong oleh aspek ekonomis, yaitu upaya mencegah penggerusan basis pajak melalui transfer laba. Di sisi lain, PT JSGI bersikukuh bahwa pengenaan constructive dividend kepada JSTC melanggar prinsip hukum perpajakan. PT JSGI membuktikan JSTC hanya bertindak sebagai pemasok afiliasi dan secara legal bukan pemegang saham perusahaan.
Dalam memeriksa sengketa ini, Majelis Hakim tidak semata-mata berfokus pada perdebatan koreksi primer atas Harga Pokok Penjualan (HPP), melainkan juga menyoroti landasan yuridis dari koreksi sekundernya. Poin krusial yang menjadi penentu putusan Majelis adalah bahwa konsep Dividen Konstruktif (Constructive Dividend) yang menjadi objek PPh Pasal 26, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan, secara inheren mensyaratkan adanya hubungan pemegang saham (shareholder relationship) antara pihak pembayar (PT JSGI) dan pihak penerima penghasilan (JSTC).
Setelah meneliti fakta-fakta yang disajikan dan menganalisis status hukum kedua belah pihak, Majelis menegaskan bahwa JSTC, afiliasi yang bertindak sebagai pemasok bahan baku di Jepang, secara faktual dan hukum bukanlah pemegang saham PT JSGI.
Oleh karena ketiadaan hubungan pemegang saham tersebut, Majelis memutuskan bahwa selisih transaksi HPP yang tidak wajar—meskipun diindikasikan sebagai penggeseran laba—secara hukum tidak dapat diklasifikasikan sebagai dividen. Akibat dari gugurnya pengakuan dividen konstruktif ini, objek PPh Pasal 26 menjadi tidak terpenuhi. Dengan demikian, koreksi sekunder PPh Pasal 26 yang ditetapkan DJP tidak dapat dipertahankan. Putusan ini dengan jelas membatasi kewenangan fiskus, menegaskan bahwa koreksi sekunder berupa dividen konstruktif hanya dapat diterapkan kepada entitas afiliasi yang secara jelas memiliki status hukum sebagai pemegang saham.
Dapat kita lihat bahwa dalam hasil analisis dan resolusi sengketa ini, Majelis Hakim mengambil pandangan yang terbagi. Majelis pada awalnya menerima argumentasi DJP terkait koreksi primer (HPP) karena PT JSGI dinilai gagal menyediakan pembuktian yang cukup kuat untuk mempertahankan penyesuaian faktual yang diklaim (misalnya, idle capacity). Namun, ketika beralih pada koreksi sekunder, Majelis Hakim memberikan pertimbangan yuridis yang krusial. Artinya, pembatalan koreksi sekunder (PPh Pasal 26) bukan didasarkan pada koreksi primernya (HPP) yang ditolak, melainkan pada cacat hukum pada penerapan koreksi sekunder itu sendiri.
Majelis Hakim secara tegas merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang PPh dan Penjelasannya. Hakim berpendapat bahwa konsep dividen, termasuk dividen terselubung, secara inheren terikat pada hubungan kepemilikan saham. Karena JSTC secara faktual dan hukum bukanlah pemegang saham PT JSGI, selisih HPP yang tidak wajar tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai dividen. Oleh karena itu, tidak ada objek PPh Pasal 26 yang terutang, meskipun koreksi HPP (transfer laba) secara ekonomis telah dibenarkan.
Implikasi Putusan ini memiliki dampak signifikan bagi praktik perpajakan di Indonesia. Putusan ini menjadi rujukan penting yang membatasi otoritas pajak dalam menerapkan koreksi secondary adjustment dalam bentuk dividen. Wajib Pajak multinasional kini memiliki argumen hukum yang kuat, yang ditegaskan oleh Pengadilan Pajak, bahwa constructive dividend hanya berlaku dalam konteks transaksi antara perusahaan dengan pihak yang memiliki status kepemilikan saham yang jelas. Hal ini memberikan kepastian hukum yang lebih besar dan membantu Wajib Pajak dalam menyusun strategi mitigasi sengketa transfer pricing, di mana pemisahan tegas antara fungsi pemasok/jasa afiliasi dengan fungsi pemegang saham menjadi kritikal.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini